Selasa, 03 April 2012

Dokter dan Al-Qur’an

Seorang dokter tidak akan pernah bisa mengobati apalagi menyembuhkan penyakit seorang pasien yang tidak mau jujur tentang penyakitnya. Walaupun dokter itu memiliki kredibilitas yang meyakinkan dalam profesinya serta difasilitasi dengan alat diagnosa yang mutakhir, akan percuma bila dihadapkan pada pasien yang tertutup.
Proses pengobatan dan penyembuhan biasanya atau lazim diawali dengan diagnosa verbal terlebih dahulu. Di sini dokter butuh keterangan si pasien untuk jujur mengatakan apa penyakit yang dirasakannya serta kronologis hingga dia terserang penyakit tersebut. Nah, jika si pasien tidak mau bicara jujur, dipastikan sulit buat dokter sekelas Cipto Mangunkusomo mendiagnosa alih-alih mengobati penyakit pasien yang model begini. Apalagi jika si pasien orang yang mudah tersinggung, bisa-bisa dia marah ketika dinasehati oleh dokter untuk 'mantang' dari prilaku tidak sehatnya.

Begitu juga dengan Al Qur'an. Tuhan menurunkan Qur'an selain sebagai petunjuk hidup (berisi rambu/pantangan) juga sebagai obat penawar. Spesialisasi Qur'an pada pengobatan penyakit hati dan jiwa--bukan obat batuk atau kebal secara fisik. Ini (mungkin) dikarenakan Qur'an adalah pedoman hidup. dan yang hidup itu adalah jiwa dan hati. Sebab hidup tak akan hidup tanpa hati dan jiwa yang hidup--Kata Tuhan orang yang hidup dengan hati yang mati itu laksana mayat hidup. Sedang mayat tidak dapat memberi manfaat pada diri sendiri apalagi orang lain.

Nah, kejujuran hati dibutuhkan jika ingin mendiagnosa plus mengobati hati dan jiwa kita dengan Qur'an. Sebab proses pertama dalam berobat dengan Qur'an adalah berdialog dengannya. Ketika hati kita tak mau jujur tentang penyakit yang dideritanya, maka akan mudah kita dibuat tersinggung oleh kalimat verbal Qur'an. Namun sesungguhnya rasa tersinggung itu merupakan cara Qur'an mendiagnosa ada tidaknya penyakit hati. Bila Qur'an mengatakan "Para pemabuk, pezina, dan pembuat kemaksiatan lainnya akan masuk neraka", dan jika saat itu kita 'merasa' tersindir, maka artinya hati kita terdiagnosa memang memiliki penyakit. Penyakit hati ini belum dikategorikan parah dan akut selama masih mau diberi obat. Obat penawarnya adalah ketika kita masih mau menerima nasehat al Qur'an.

Lain halnya jika kita merasa marah akibat diagnosa "sindiran" al Qur'an dan lalu meninggalkannya. Ini masuk kategori penyakit hati yang akut. Dalam istilah Qur'an penyakit ini telah mebuat hati "hitam dan keras".
Tetapi Qur'an juga memberikan obat penyembuh dan langkah preventif antisipatif penyakit itu kembali. Layaknya seorang dokter, Qur'an memberikan resep-resep jitu agar penyakit hati tak hinggap lagi. Nah, resepnya adalah baca dan terus berkonsultasi dengan Al-Qur'an...
Ngalor-ngidul ngga keruan, jadi apa yang dapat disimpulkan adalah bahwa Al Qur'an adalah pedoman hidup dan bisa jadi obat penawar bagi penyakit hati. Dengan catatan, cuma hati yang mau jujur saja yang dapat disembuhkan. Karena itulah mari kita budayakan jujur pada diri sendiri serta pada Tuhan. Dan, jujur saja, sberapa intens kita berdialog dg al Qur'an?
Kalo saya mah, jarang banget.

sumber:http://dowyahmad.blogspot.com/2011/03/dokter-dan-al-quran.html

0 komentar:

Posting Komentar